Di tulisan ini saya ingin berterus terang mengenai sosok ‘beliau’ yang saya sebut di tulisan partaigolput.com/asu. Saya yakin banyak orang bisa menebak dengan tepat siapa ‘beliau’. To the point aja, sosok ‘beliau’ yang saya maksud adalah Muhammad Ainun Najib atau lebih dikenal dengan nama pena Emha Ainun Najib. Saat ini sebagian orang memanggil ‘beliau’ dengan panggilan Mbah Nun. Di tulisan ini saya akan menggunakan nama panggilan beliau yang populer dari sejak lama, yaitu Cak Nun.
Saya pernah mendengar nama Cak Nun saat belajar di Pesantren Hidayatullah Surabaya, sebuah tempat (komunitas) yang suasana dan nuansanya bisa dibilang Islam konservatif. Saya yang punya jiwa dan pikiran agak ‘mbeling’, tidak bisa bebas mengeksplorasi beragam pemikiran dan gagasan. Tapi saya bersyukur pernah belajar di Pesantren Hidayatullah Surabaya. Apalagi saya ini angkatan pertama SMA-nya, waktu itu masih belum ada pungutan biaya pendidikan, alias gratisan. Itulah alasan utama saya nekad merantau dari Cianjur ke Surabaya
Kelak saat saya mulai tertarik mengeksplorasi pemikiran-pemikiran Cak Nun, saya semakin bersyukur pernah belajar di Pesantren Hidayatullah Surabaya. Saat belajar di Pesantren saya familiar dan terbiasa berbahasa Jawa Timuran. Hal itu sangat berguna saat saya menyimak ceramah-ceramah Cak Nun di YouTube yang lebih sering menggunakan bahasa Jawa Timuran.
Saya orang Sunda, kalau tidak pernah belajar di Pesantren Hidayatullah Surabaya, saya akan kesulitan memahami ceramah-ceramahnya Cak Nun. Karena itu saya sangat menghormati dan tetap menjaga hubungan baik dengan guru-guru dan teman-teman saya yang aktivis Hidayatullah. Walaupun diantara kami ada perbedaan paham dan pemikiran. Bagaimanpun Hidayatullah merupakan bagian dari perjalanan hidup saya.
Sekedar info saja, Hidayatullah awalnya merupakan pesantren yang dirintis almarhum Ustadz Abdullah Said di Balikpapan, Kalimantan Timur. Kemudian berkembang ke berbagai tempat. Setelah 2 tahun meninggalnya Ustadz Abdullah Said, pada tahun 2000 Hidayatullah bertransformasi menjadi ORMAS (Organisasi Masyarakat) seperti NU dan Muhammadiyah.
Saya kembali teringat nama Cak Nun dan tertarik mengenal beliau lebih jauh gara-gara membaca twit guyonan mbah Sujiwo Tejo yang memperkenalkan Cak Nun sebagai salah satu ‘muridnya’. Kalau dirunut lagi ke sebelum itu, saya jadi tertarik dengan Cak Nun gara-gara saya ‘iseng’ membuat akun Twitter @PartaiGolPut. Boleh dibilang saya jadi kenal Cak Nun gara-gara politik. Tapi dari Cak Nun saya tidak hanya belajar politik dan kenegaraan, yang lebih penting saya banyak belajar tentang kehidupan. Cak Nun menginspirasi saya untuk menjalani hidup yang sumeleh. Alhamdulillah saya jadi lebih mudah berdamai dengan hal-hal yang tidak saya inginkan dan yang terjadi di luar kendali saya.
Sebenarnya saya nggak ‘begitu-begitu amat’ sama Cak Nun. Beberapa pemikiran/gagasan Cak Nun ada yang dulu sudah kepikiran oleh saya. Membaca atau mendengar pemikiran Cak Nun jadi semacam validasi atas apa yang kepikiran oleh saya sebelumnya.
Saya membahas Cak Nun di tulisan ini bukan karena saya mengidolakan beliau. Juga bukan karena saya pengikut beliau. Cak Nun sendiri tidak mau punya pengikut, bahkan melarang orang menjadi pengikutnya. Di berbagai kesempatan Cak Nun sering mengatakan bahwa dia sendiri hanya pengikut Nabi terakhir Rasulullah Muhammad SAW. Selain melarang orang jadi pengikutnya, Cak Nun juga menyampaikan agar setiap kita berdaulat dengan diri kita sendiri. Jangan ‘menelan’ begitu saja apa yang dikatakan seseorang. Cak Nun mengatakan jangan gampang percaya kepadanya.