Tuhan Hadir Lewat Karya Mas Dandhy Laksono

Yang peduli dengan politik pasti familiar dengan ungkapan ‘Suara Rakyat Suara Tuhan’. Sampai saat ini saya tidak paham maksud ungkapan ini dalam konteks pemilu yang hasil akhirnya menang atau kalah. Suara rakyat mana yang merupakan suara Tuhan? Suara rakyat yang jagoannya menang atau suara rakyat yang jagoannya kalah?

Saya punya pandangan berbeda yang saya anggap cukup relevan dengan ungkapan ‘Suara Rakyat Suara Tuhan’. Tapi mungkin saja pandangan saya ini tidak sesuai dengan maksud dari pihak yang mengungkapkannya pertama kali. Pandangan saya ini tidak hanya relevan dengan politik tapi juga kehidupan secara umum. Ijinkan saya mengutip dua hadist Nabi.

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta’ala berfirman di hari Kiamat :
Hai anak Adam, Aku telah sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana cara saya menjenguk-Mu, sedangkan Engkau Tuhan penguasa alam semesta? Allah menjawab: Apakah engkau tidak mengetahui bahwa seorang hamba-Ku bernama Fulan sedang sakit tetapi engkau tidak mau menjenguknya. Sekiranya engkau mau menjenguknya, pasti engkau dapati Aku di sisinya.
Wahai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi engkau tidak mau memberikan makan kepada-Ku. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caranya saya memberi makan kepada-Mu, sedang Engkau Tuhan penguasa alam semesta? Allah berfirman: Ketahuilah, apakah engkau tidak peduli adanya seorang hamba-Ku, si Fulan, telah datang meminta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberinya makan. Ketahuilah, sekiranya engkau mau memberinya makan, pasti engkau akan menemukan balasannya di sisi-Ku.
Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi engkau tidak mau memberi-Ku minum. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caranya aku memberi-Mu minum, padahal Engkau Tuhan penguasa semesta alam? Allah berfirman: hamba-Ku, si Fulan, minta minum kepadamu tetapi engkau tidak mau memberinya minum. Ketahuilah, sekiranya engkau memberinya minum, pasti engkau akan menemui balasannya di sisi-Ku. [HR. Muslim]

Carikan untukku orang-orang yang lemah, karena sesungguhnya kalian diberi rezeki dan ditolong (dimenangkan) dengan sebab orang-orang yang lemah (di antara) kalian”. (HR. Abu Dawud)

Saya merasa tidak punya kompetensi untuk menjelaskan maksud dari dua hadist di atas. Tapi berdasarkan dua hadist tersebut saya punya keyakinan bahwa Tuhan bisa kita ‘temukan’ diantara orang-orang yang lemah dan dilemahkan. Orang-orang yang sering disapa dan diberi janji oleh para politisi saat pemilu, kemudian dilupakan setelah mereka terpilih. Orang-orang yang sering menjadi tumbal pembangunan.

Berdasarkan keyakinan saya ini, sebuah rezim saya anggap gagal kalau masih ada rakyat kecil yang terzalimi akibat pembangunan yang tidak adil. Walaupun rezim tersebut sudah berhasil membangun banyak hal dan mensejahterakan sebagian rakyat.

Memang kita tidak mungkin bisa menghilangkan sepenuhnya kemiskinan dari muka bumi. Adanya yang miskin dan yang kaya adalah sunatullah (hukum alam). Tetapi pembangunan yang adil seharusnya tidak membuat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Keserakahan tidak boleh dibiarkan merajalela.

Dandhy LaksonoSaya bersyukur, diantara gegap gempita pembanganun  yang sedang berlangsung di negeri ini, masih ada orang-orang yang berani menyuarakan kepentingan orang-orang lemah yang menjadi tumbal pembangunan. Diantara orang-orang tersebut ada Mas Dandhy Dwi Laksono, seorang wartawan.

Saya belum pernah bertemu langsung dengan Mas Dandhy. Saya hanya mengenal beliau lewat karya-karya yang dibuatnya dan yang dirilis perusahaan yang didirikannya, Watchdoc. Jakarta Unfair adalah film dokumenter yang dirilis Watchdoc yang terakhir saya tonton. Film ini memang bukan karya beliau secara langsung, tapi saya yakin beliau ikut terlibat di dalamnya.

Setelah selesai menonton film Jakarta Unfair, entah kenapa saya teringat dengan dua hadist yang sudah saya kutipkan di atas. Saya merasa mendengar ‘suara’ Tuhan lewat karya tersebut. Karya yang menyuarakan orang-orang lemah yang terpaksa menjadi tumbal pembangunan.

Saya tahu, pembangunan di Jakarta telah dirasakan manfaatnya oleh sebagian warganya. Penilaian positif mereka sudah banyak tersebar di media sosial. Namun warga lain yang merasa menjadi tumbal pembangunan seperti yang disuarakan lewat film Jakarta Unfair juga tidak kalah banyaknya. Pihak pembuat film pasti mengungkapkan data sesuai fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Mereka tidak mungkin melakukan rekayasa.

Poster Jakarta Unfair
Poster Film Dokumenter Jakarta Unfair

Seperti yang disampaikan salah satu sutradaranya di sebuah media, pembuatan film Jakarta Unfair dibiayai secara gotong royong oleh para pembuatnya. Tentu dengan dukungan Watchdoc yang membantu merilisnya. Mereka membuat film tersebut atas dasar keprihatinan kepada rakyat kecil yang jadi korban penggusuran. Mereka berharap kebijakan penggusuran yang menyengsarakan rakyat kecil tidak ditiru oleh pemerintah daerah di tempat lain.

Ada film dokumenter lain yang dirilis Watchdoc yang memiliki semangat yang sama dengan film Jakarta Unfair. Menyuarakan orang-orang yang menjadi korban keserakahan. Diantaranya Rayuan Pulau Palsu, Alkinemokiye, Belakang Hotel & The MAHUZEs..

Tugas Wartawan Adalah Tugas Kenabian

Watchdoc yang didirikan Mas Dandhy dan kawannya adalah sebuah perusahan komersial, salah satu tujuannya mencari keuntungan. Sebagai seorang wartawan, saya yakin tujuan hidup Mas Dandhy tidak hanya mencari laba. Pertimbangan hidupnya tidak hanya untung rugi. Mungkin dengan adanya Watchdoc , dia berharap idealismenya sebagai wartawan bisa terjaga.

Karya-karya yang dirilis Watchdoc yang isinya menyuarakan suara rakyat yang terzalimi merupakan karya yang penuh idealisme. Dibuat bukan karena pertimbangan komersial, tapi karena keterpanggilan untuk menyuarakan ketidakadilan dan melawan keserakahan. Kalau pemerintahnya benar, karya-karya seperti itu seharusnya mendapat dukungan dana dari pemerintah.

Pada saat Mas Dandhy beserta temannya Suparta AZ melakukan Expedisi Indonesia Biru, saya sempat meminta pendapat mengenai expedisi ini kepada seorang teman saya yang bekerja sebagai wartawan di sebuah media Islam. Jawabannya cukup mengejutkan. Dia mengatakan Expedisi Indonesia Biru kemungkinan merupakan proyek yang dikerjakan untuk mendapat sponsor dari luar negeri. Katanya sama seperti Expedisi Zamrud Katulistiwa yang dilakukan oleh wartawan Farid Gaban dan Ahmad Yunus.

Setahu saya Mas Dandhy berkawan baik dengan Mas Farid Gaban dan Mas Ahmad Yunus. Saya tidak percaya dengan tuduhan teman saya itu. Melalui salah satu artikel di Kompas, saya tahu Expedisi Indonesia Biru dilakukan tanpa sponsor. Semua biaya berasal dari kantong pribadi Mas Dandhy.

Penilaian negatif teman saya untuk Expedisi Indonesia Biru mungkin karena video-video yang dihasilkan dari expedisi ini menampilkan masyarakat di pelosok-pelosok Indonesia yang masih menganut keyakinan leluhurnya. Oleh teman saya ini, mungkin dianggapnya sebagai bentuk kemusyrikan. Teman saya ini mungkin lupa, tugas wartawan adalah menyampaikan fakta apa adanya. Bukan menghakimi keyakinan orang.

Ada yang menuduh beberapa film yang dibuat Mas Dandhy membawa pesan komunisme. Menanggapi tuduhan tersebut, Mas Dandhy tidak memberikan bantahan secara jelas. Kalau ada orang melabelinya sebagai orang ‘kiri’, Mas Dandhy juga tidak berusaha membantahnya. Dia hanya mengatakan komunis berbeda dengan atheis.

Dari salah satu tulisan yang ada di website Indonesia Biru, saya tahu Mas Dandy seorang muslim. Walau saya beragama Islam, saya tidak terlalu peduli Mas Dandy itu muslim atau bukan. Selama beliau membuat karya jurnalistik yang menyampaikan kebenaran, saya akan tetap menikmati dan mempercayai karyanya.

Saat industri media dikuasai kapitalis, wartawan seperti Mas Dandhy merupakan barang langka. Seharusnya negara mendukung orang-orang seperti beliau. Tapi kita harus memaklumi, penguasa negeri ini dipililh oleh rakyat yang belum bisa membedakan mana manusia yang kualitasnya batu dan mana manusia yang kualitasnya berlian. Sangat wajar kalau orang-orang yang tetap menjaga idealisme seperti Mas Dandhy sering tidak dianggap dan tidak dipedulikan.

Salah satu tugas utama wartawan adalah mengabarkan kebenaran,. Itu merupakan salah satu tugas kenabian. Walaupun tidak menampakkan diri sebagai orang yang relegius, saya merasa Mas Dandhy sudah mengerjakan tugas kenabian tersebut dengan sebaik-baiknya. Pada hadist Nabi yang saya kutipkan di awal tulisan, tertulis di situ anak adam dan hamba . Tidak ada keterangan muslim atau tidaknya. Saya berharap Mas Dandhy tidak pernah berhenti menyuarakan orang-orang yang terzalimi. Apapun agama dan ideologinya.

Film Jakarta Unfair ternyata dikerjakan oleh beberapa mahasiswa dari berbagai kampus dengan latar belakang suku, agama dan ras yang berbeda. Ini seharusnya membuat kita lumayan optimis dengan Indonesia. Idealisme Mas Dandhy sudah menular kepada orang-orang yang lebih muda.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *