Pada tanggal 21 Mei 1998 Seoharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Apa yang dinyatakan Soeharto di depan publik dan diliput banyak media pada tanggal tersebut sebenarnya hanya semacam resepsi saja. Rakyat Indonesia banyak yang tidak tahu peristiwa akad keputusan Soeharto bersedia lengser keprabon.
Pada Mei 1998 Indonesia menghadapi keadaan genting. Aksi demo dimana-mana, ada yang disertai dengan kerusuhan. Sepulang dari Mesir pada 15 Mei 1998, Presiden Soeharto masih bergeming dan tidak mau memenuhi tuntutan demonstran agar dirinya mundur.
Merespon keadaan genting yang sangat menghawatirkan, Emha Ainun Najib (Cak Nun) bersama Nurcholish Madjid (Cak Nur) serta Oetomo Danandjaya, Ekky Syachruddin dan Fahmi Indris berkumpul di Hotel Regent, Jakarta. Mereka menyusun sebuah naskah surat untuk kemudian disampaikan kepada Presiden Seoharto. Inti dari isi naskah surat tersebut meminta Pak Harto legowo mundur dari jabatan Presiden. Oleh Cak Nur naskah surat tersebut diberi judul Husnul Khotimah.
Pada 17 Mei 1998, naskah Husnul Khatimah dikonferensiperskan di Hotel Wisata Jakarta. Kemudian persoalan lain muncul: siapa yang akan menyampaikan naskah tersebut kepada Presiden Seoharto. Sosok Soeharto saat itu begitu kuat, perlu diplomasi khusus untuk menyampaikan isi dan poin-poin penting di naskah tersebut. Untungnya, Saadilah Mursyid yang saat itu menjabat Menteri Sekretaris Negara, atas permintaan Cak Nun dan Cak Nur, mau dan memberanikan diri menjalani peran tersebut.
Esoknya, tanggal 18 Mei 1998 Saadilah Mursyid menemui Presiden Soeharto untuk menyampaikan isi dan poin-poin penting yang ada di naskah Husnul Khotimah. Di luar dugaan, Pak Harto merespon cepat. Malam hari di tanggal tersebut, Pak Harto menelpon Cak Nur, beliau menyatakan kesediannya mundur dari jabatan presiden. Kemudian Cak Nur menyampaikan kabar tersebut kepada Cak Nun lewat istrinya, Bu Novia Kolopaking. Banyak orang yang belum mengetahui, sejatinya pada malam tanggal 18 Mei 1998 itulah akad keputusan Seoharto bersedia mengalah untuk Lengser Keprabon.
Demi memastikan proses perpindahan kekuasaan yang tidak menimbulkan konflik baru, Pak Harto minta ditemani dalam proses peletakan jabatan Presiden yang beliau emban. Beliau mengundang para inisiator naskah Husnul Khotimah untuk datang ke Istana. Pada tanggal 19 Mei 1998, Cak Nur dan Cak Nun beserta tokoh-tokoh lain memenuhi undangan tersebut.
Totalnya ada sembilan orang yang memenuhi undangan Presiden Soeharto untuk bertemu di Istana. Mereka yaitu: K.H. Abdurrahman Wahid, K.H. Ali Yafie, K.H. Cholil Baedowi, K.H. Ma’ruf Amien, Malik Fadjar, Sumarsono, Achmad Bagja, Nurcholis Madjid dan Emha Ainun Nadjib. Selain itu hadir juga Yusril Ihza Mahendra yang saat itu biasa membantu menulis naskah pidato Presiden Soeharto. Cak Nur yang mengajak Yusril, alasannya karena dialah orang yang paling paham Hukum Tata Negara dibanding sembilan tokoh lainnya.
Kedatangan sembilan tokoh memenuhi undangan Pak Harto bukan untuk memintanya mundur dari jabatan presiden. Pertemuan tersebut semacam penegasan akad keputusan Pak Harto bersedia Lengser Keprabon. Yang jadi pembicaraan di pertemuan tersebut adalah bahasan mengenai prosedur mundurnya Pak Harto dari jabatan presiden. Supaya prosesnya konstitusional dan tidak menimbulkan gejolak baru.
Penting untuk diketahui, sebelum mulai pertemuan Presiden Soeharto dengan para tokoh, Cak Nur dan Cak Nun saling berjabat tangan bersepakat dan bersumpah untuk tidak bersedia terlibat dalam pemerintahan pasca lengsernya Pak Harto. Gentle agreement diantara mereka berdua untuk memberi contoh bahwa apa yang diperjuangkan keduanya bukan dalam rangka mengejar kekuasaan.
Sebagian besar rakyat Indonesia beranggapan berhentinya Seoharto dari jabatan presiden karena demonstrasi mahasiswa yang terjadi di banyak tempat, hingga puncaknya mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR. Anggapan tersebut tidaklah salah. Tapi rakyat Indonesia juga harus banyak yang tahu bahwa di saat kondisi genting ada tokoh-tokoh bangsa yang mengupayakan jalan keluar yang tidak menambah banyaknya korban dan kerugian bagi banyak pihak, terutama rakyat kecil tak berdaya.
Berdasarkan cerita Cak Nun di sebuah video YouTube, yang membuat Pak Harto memutuskan lengser keprabon bukan aksi demonstrasi mahasiswa, tapi amuk massa rakyat yang sudah tidak bisa dikontrol sehingga menyebabkan terjadinya kerusuhan dan penjarahan yang semakin meluas. Waktu itu, militer masih di bawah kendali Pak Harto. Sangat mudah bagi Pak Harto untuk menggebuk demonstran di jalanan. Tapi kepercayaan diri Pak Harto runtuh saat melihat rakyat rusuh dan menjarah. Pak Harto merasa mayoritas rakyat sudah tidak percaya lagi kepadanya.
Sebagian mahasiswa yang ikut demonstrasi menuntut Seoharto lengser, menyadari keterlibatannya dalam demonstrasi tidak seheroik yang diklaim para pentolan aktivisnya. Saya pernah baca cerita di akun Twitter Indra J Piliang (salah satu aktivis 98) mengenai aksi demo 98. Dia dan teman-temannya sudah menyiapkan ‘napas panjang’ demi turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Bukan lagi hitungan hari, tapi bulan. Waktu Seoharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden, dia kaget. Kok bisa Seoharto lengser setelah demo dalam hitungan hari.
Apa yang saya sampaikan di tulisan ini sebagian besar bersumber dari dua buku yang ditulis Cak Nun, yaitu Mati Ketawa Cara Refotnasi dan Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana.