Saya yakin hampir semua rakyat Indonesia familiar dengan istilah sandang, pangan, papan. Melalui orang yang saya anggap sebagai guru kehidupan, saya mendapat pelajaran berharga bahwa urutan ketiganya memiliki filosofi yang dalam. Kalau kita mengubah urutannya, maka orientasi hidup kita akan salah arah.
Tidak masalah tidak punya tempat tinggal (papan) asal kita masih bisa makan (pangan). Tidak masalah tidak bisa makan, asalkan masih mengenakan pakaian (sandang).
Selama ini saya menganggap bahwa sandang hanya sekedar pakaian. Padahal fungsi utama pakaian adalah untuk menutup aurat kita. Aurat adalah simbol dari martabat. Kalau ada orang telanjang maka kita menganggapnya sebagai orang yang tidak punya harga diri. Itu artinya dia sudah tidak punya martabat lagi.
Tujuan kita bekerja seharusnya untuk menjaga martabat, agar kita makan dari hasil keringat kita sendiri. Namun sebagian orang lebih mengutamakan bisa makan tanpa mementingkan martabat. Yang penting makan walau hasil korupsi.
Antara Martabat dan Dunia Politik
Pentingnya martabat tidak hanya untuk urusan pribadi dan pekerjaan, tapi juga ketika berpolitik dan bernegara. Bagi saya, orang yang menawar-nawarkan diri untuk jabatan publik adalah orang yang tidak punya martabat. Apalagi kalau sampai melakukan pencitraan, menjual dirinya seperti menjual barang dagangan.
Tapi saya tidak mau menyalahkan orang-orang yang menawarkan diri untuk mendapatkan jabatan publik. Justru sebagai rakyat saya harus introspeksi diri. Kenapa membiarkan orang-orang baik mengorbankan martabatnya. Harusnya saya memperjuangkan orang-orang baik untuk mengisi jabatan-jabatan publik tanpa menunggu orang-orang tersebut menawar-nawarkan diri.
Pendapat saya ini mungkin berbeda dengan kebanyakan orang yang menganggap bahwa menawar-menawarkan diri untuk mendapatkan jabatan publik adalah hal yang lumrah. Entahlah, pendapat saya mungkin salah. Atau mungkin kebanyakan orang sudah tidak peduli lagi pentingnya martabat?
Saya berharap terjadi perubahan di dunia perpolitikan Indonesia. Suatu saat kalau ada orang menawar-nawarkan diri untuk mendapatkan jabatan publik maka itu merupakan sebuah aib. Bukan lagi sebuah hal yang lumrah. Tapi untuk menuju ke sana tentu harus ada orang yang mengikhtiarkannya. Untuk itu saya coba mulai dengan membuat tulisan ini. Walaupun saya sadar ini merupakan sebuah upaya kecil. Mudah-mudahan upaya kecil ini mendapat dukungan banyak orang.